Wednesday, May 31, 2006

mia menulis: yang tertinggal dan yang hilang

Apa yang bisa kamu lakukan ketika orang-orang di sekitarmu kehilangan tempat tinggal, kenangan, sarana penunjang hidup, bahkan orang-orang yang dicintai? Apa yang tertinggal untuk mereka? Apa yang bisa kita kembalikan kepada mereka, selain harapan akan hidup yang lebih baik?

Ribuan rumah mungkin dibangun, jutaan satuan bantuan boleh jadi berdatangan tak henti-henti, tim medis barangkali bersiaga 24 jam di kamp pengungsi korban, tetapi tak ada yang bisa mengembalikan hidup mereka seperti semula. Yang tertinggal jadi pepuing, di balik jerit terbekam reruntuhan.

Sesedikit apa pun yang dapat dilakukan untuk mereka, kami, Anda; kita gaiacorps, melakukan apa yang mungkin. Mengumpulkan tim medis, merangkul volunteer yang bersedia stay di lapangan, menghubungi base-base bantuan, sampai bersibuk dengan sms dan Yahoo Messenger untuk tujuan kurang lebih serupa. Sedari pagi, kehidupan di kantor Gaia sudah menyala; telepon keluar dan masuk hampir tak berjeda, sebagian orang mondar-mandir, dari telepon ke PC ke benam kertas ke tumpukan bantuan ke kafe di luar ke faksimili ke halaman, sampai kembali ke muka PC. Lalu lintas padat, meski tak sampai memacetkan.

Di sela-sela kesibukan itu, mitos tentang peristiwa-peristiwa aneh bin ironis pun beredar. Kemarin kami menerima sekotak besar bantuan obat-obatan yang ternyata kadaluarsa 4 tahun yang lalu. Masygul dan absurd. Di titik lain, satu atau beberapa pihak mengedrop tenda yang lantas, dengan penuh rasa syukur, didirikan dan dimanfaatkan oleh kampung korban di muka Jogja Expo Center. Belum habis rasa syukur mereka, seseorang tiba-tiba menagih iuran, 200 ribu rupiah per tenda yang berdiri! Alhasil, tenda pun rubuh. Harapan yang sempat mengembang kembali ciut. Belum lagi sikap pengusaha persewaan tenda yang adem-ayem titi tentrem karto raharjo selagi kampungnya turut menjadi korban, dan dengan asyiknya menggelar stok karpet mereka; bukan untuk dimanfaatkan dengan sebaiknya oleh korban, tetapi untuk ditikam hangat cahaya matahari: dijemur. Betapa tak habis pikir. Pula tak habis pikir ketika isu tsunami di hari pertama gempa disiarkan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab hingga membuat panik sekian ribu warga Jogja, demi secuil barang jarahan.

Bagaimanapun, bencana tidak lagi cukup peristiwa yang mengundang keprihatinan massal. Bencana tiba-tiba pun telah menjadi produk; komoditas yang laku dijual ke bendera-bendera pengusung kepentingan. Termasuk dimanfaatkan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab di atas. Konflik kepentingan, termasuk klaim-mengklaim daerah, terjadi di sana-sini. Di tengah suasana genting, kepentingan birokrasi terus bertahan tak tergoyahkan, tak bisa diputus. Membuat orang-orang terus mengutuk. Sementara korban terdiam tak terurus. Terbengkalai.

Apa yang bisa kita lakukan untuk mereka?

To be, or not to be. That is the question.

Adakah tanda tanya itu di kepala Anda?