Thursday, June 01, 2006

difla bertanya: cerita miting di hotel ada bintangnya

meeting di hotel berbintang. dengan banyak organisasi asing, lsm yogya, subjeknya: “siapa mengerjakan apa dalam menanggapi bencana?”.

pertanyaan sederhana. bukankah semestinya bisa dijawab dengan: “kami ada di desa a, melayani sekian orang, sudah melakukan m, n, dan o; tapi masih kurang p, q, dan r. kami punya rencana s dan t, mohon bantuan x dan y”.

tapi sebuah lembaga memberikan jawaban: “sudah assessment ke sekian desa. punya peta akurat pakai gps. titik-titik sudah terpeta untuk bikin rencana.”

lembaga lain menjawab: “sudah punya posko di sekian kecamatan, sekian desa yang terpilih adalah yang paling tak tersentuh oleh bantuan. sudah assessment apa saja yang dibutuhkan lalu langkah selanjutnya adalah merencanakan.”

dalam hati, menggelitik sebuah pertanyaan: “apa jawaban harus terkesan canggih? apa harus keren? atau harus terkesan berjangkauan luas dan menyeluruh?"

hanya jawaban jujur dan lugu yang bisa kami berikan kepada semua orang: “kami tidak pernah punya niatan untuk berjalan sejauh ini. pada hari h bencana, kami sekedar berusaha menolong yang luka-luka. kebetulan kami punya 1 unit kesehatan siaga. ada mobil, obat, dokter, dan relawan yang (lagi-lagi kebetulan..) datang tanpa pretensi apa-apa.

berangkatlah. sepanjang jalan jemput bola, merawat korban yang luka. hingga jam enam sore, menangani ratusan pasien, dokter dan relawan kelelahan. harus berhenti dulu. nemu lapangan. tak dinyana makin banyak yang datang. harus dirawat, dijahit, diobati, dibalut. siapa mengira, itu adalah awal dari semuanya. tidak hanya sakit dan luka, sedulur-sedulur yang lapar dan dingin membuat kami tak bisa diam saja."
--
pertanyaan berikutnya: “apa yang terjadi dengan pembagian makanan, obat, serta layanan lainnya? apakah ada sistem kerjasama antar lembaga?”

ada jawaban: “pembagian makanan tidak adil karena pemerintah kurang tanggap situasi dan satkorlak tidak berfungsi.”

lainnya menjawab: “sekarang semuanya sudah berubah jadi isu keamanan. penduduk yang lapar jadi beringas, mengancam siapapun yang lewat membawa makanan. sementara aparat yang harusnya siaga, malah cuma duduk-duduk saja”

satu lagi menjawab: “di kota ini, berdasarkan sebuah rapat antar lembaga, 25 organisasi sudah membentuk forum yang akan mengkoordinir bantuan supaya sampai beneran.”

kenapa harus menghujat ketidakberesan yang (sudah pasti) terjadi di situasi kacau begini? haruskah berdebat untuk mengubah keadaan, padahal banyak yang bisa dilakukan untuk menolong sekian ribu korban? kenapa tidak berupaya memotong jalur berbelit?

mencari sumber lain. memanfaatkan pertemanan. lalu hasilnya dibagikan dengan sistem sederhana yang tepatguna. bagi kami, semuanya mengalir begitu saja. pukul empat sore di hari h, stok obat yang dibawa tak lagi tersisa. ngumpulin duit, lari ke apotik.

telpon teman yang punya klinik. telpon teman yang kerja di perusahaan obat. ngebon dulu ke broker obat sebelum bantuan didapat. ketika harus menginap, sedulur-sedulur cari bantuan makanan. telpon dan sms tak henti-henti. kontak sana-sini. sedikit demi sedikit terkumpul beras mie dan roti. berapa harus tersedia, kami tanya pada mereka. kepala dukuh dihubungi, orang per orang didatangi, data segera tersaji. yang tak ada dalam daftar tak berhak dapat bagian. sesederhana itu yang kami kerjakan. sesederhana cara kami memanfaatkan pertemanan untuk dapat bantuan.
--
pertanyaan berikutnya: “kenapa ketidakadilan itu bisa terjadi dan bagaimana kita harus mengatasi?”

bukan jawaban yang muncul, tapi justru keluhan: “bantuan tidak sampai ke tangan yang tepat, banyak pasien keleleran penduduk kelaparan tapi di tempat lain berlimpah bantuan, karena tak ada sistem informasi yang akurat dari pemerintah setempat”

ada juga lontaran: “karena selama ini tidak ada transparansi dalam penyaluran bantuan; sehingga yang kita harus kerjakan adalah mengembangkan iklim transparansi dan keterbukaan”. atau “karena pemerintah takut mengeluarkan bantuan tanpa sistem audit yang benar, maka bantuan tidak kunjung keluar.” atau “karena pemerintah sedang memerangi isu korupsi, sehingga takut bantuan itu dikooptasi, maka bantuan tertimbun di level kabupaten dan provinsi”

setumpuk tanya menggelitik lagi di benak kami. kalau informasi tidak ada, kenapa tidak jalan-jalan motoran sepedaan lihat sendiri kondisi lapangan lalu cari apa yang bisa dilakukan?

kenapa harus menyalahkan “yang tidak kasat mata”?
kenapa harus mencari-cari kesalahan yang belum tentu sahih adanya?
yang kami punya cuma niatan untuk membantu saudara-saudara kita. tak ada waktu untuk saling menyalahkan. upayakan yang kami bisa.

di hari pertama, kontak resmi sudah dicoba. beragam organisasi bersedia membantu tenaga medis dan obat sudah pula diberangkatkan. ketika sampai di jogja, ternyata hanya ada satu pintu yang harus dilalui; dan pintu itu merujuk ke satu institusi: rumah sakit.

kami tidak menuduh mereka brengsek; karena itu benar adanya. rumah sakit yang harus menangani ratusan korban memang layak dapat tenaga tambahan. bukan berniat mengabaikan yang di jalan-jalan, tapi karena jumlah korban di rumah sakit saja sudah bikin dokter kewalahan.

kami lah yang harus berupaya lebih keras, lagi-lagi dengan memanfaatkan pertemanan. kontak dokter-dokter freelance yang bersedia bekerja menolong sedulur-sedulur yang tertimpa bencana. bergantian setiap hari, semampu mereka.

sama halnya dengan bantuan materi. ketika hanya ada satu pintu untuk bantuan resmi, kami hanya punya keyakinan: masih banyak orang baik di dunia ini. asal kita mau mengetuk pintu itu, mengetuk pintu lainnya, dan pintu lainnya lagi, pasti salah satu akan terbuka..
--
kami percaya bahwa melakukan sesuatu yang kecil tapi tepat waktu dan tepat guna pastilah lebih stratejik daripada rencana macam-macam, rapat sana-sini, protes kanan-kiri, menghujat siapa saja, atau menyalahkan yang tak kasat mata sebelum hasilnya terlihat secara nyata..

salam dari difla