Friday, June 02, 2006

Dari jam 6 pagi ke jam 6 sore (part 1)

laporan: popok tri wahyudi

Ini adalah catatan singkat dari perjalanan kami ke daerah sisi bukit, di belakang perkampungan tenda yang berada di lapangan Blali, Seloharjo. Kami bertujuh datang ke Blali untuk membantu tim data yang keliling dengan bersepeda. Ya... memang kami pesepeda semua. Saya, Agung Kurniawan, Antariksa, Aisyah Hilal, Maryanto, Anton Subiyanto, dan Aji. Dengan sepenuh hati dan bersemangat kami berniat membantu teman- teman di gaiacorps yang mengelola kampung tenda di Blali.
Kalau ini dibilang sebuah kebetulan juga nggak; sebenarnya ini sebuah respon cepat dari teman- teman bersepeda saya terhadap bencana gempa di Jogja. Mereka semua adalah operator dari beberapa organisasi nirlaba yang juga mempunyai jam kerja padat. Meskipun organisasi mereka juga men-support bencana ini. Di konteks ini, mereka mengaktifkan insting sebagai pesepedanya. Apa yang bisa kami bisa bantu kalau nggak dengan bahasa sepeda? Di mana kendaraan ajaib ini mempunyai banyak kelebihan dibanding kendaraan lain. Bukankah .... nggak ada jalan yang gak bisa dijelajah oleh sepeda!
Oke dan siap..! Dengan berbagai medan. Itu jawaban teman- teman ketika mereka saya ajak untuk terlibat dalam perjalanan sore ini. Ya, kami jalan tadi pagi 1 Juni 2006 dan sampai di pos keberangkatan jam 6 sore tadi. Ini catatannya, dari waktu ke waktu.

05.00
Kami start terbang ke lokasi dihantar oleh sang “transporter raksasa” kita, Aan. Ini bukan masalah besar, walaupun kalau ditaksir dari pekerjaan yang dilakukan oleh mereka sehari-hari, terhitung berat untuk bangun pagi. Ya ... kami sering telat untuk tidur. Terakhir perjalanan yang kami lakukan 2 minggu sebelum gempa adalah menerobos barikade penjagaan SAR dan polisi di kawasan Kaliurang, hanya untuk makan jadah tempe-nya Mbah Carik.(sorri ... biar seimbang spiritnya, hubungan antara utara dan selatan)
Tetapi sebagai pertanggungjawaban yang logis sebagai pesepeda berapa pun telatnya kami tidur, kami akan bangun pagi. Oke.. mau bersepeda ke mana pun tak lakoni. Tapi alon-alon disaponi, yo’i rek!!

06.00
Kami sampai di titik penerjunan di Lapangan Blali sekaligus sebagai titik startnya juga. Lapor ke master pertumbuhan “General Pepeng” untuk siap ditugaskan.Biar energi dengkul kami full, jelas ... kami harus sarapan sebentar.

07.00
Tantangan baru. Kami nggak hanya mengumpulkan data tetapi melakukan patroli medis. Dengan perlengkapan PPPK standar. Untuk itu kami membawa kontainer dan diisi di logistik medis. Kami briefing dengan teman volunteer lain yang sudah stay beberapa hari di lokasi ini. Front end Andre “the commander in charge”, tentang...bla...bla...bla... Maksudnya kami siap menyisir dan mendata informasi tentang aktivitas para warga yang mengungsi, tentang bagaimana mereka hidup, kebersihan lingkungannya, titik- titik pengungsian, infrastruktur yang hancur,dan tentu saja sosialisasi keberadaan tenaga medis dan shelter pengungsian yang ada di Lapangan Blali.


08.00
Genjoot, Bung... Kalau gak salah itu yang pernah dikatakan oleh Sukarno, tukang becak tetangga saya. Kami langsung bergerak ke arah bukit. Damn! tanjakannya. Lumayan tinggi. Kemiringan sekitar 24°. Gak masalah meskipun tanpa pemanasan. Tapi menghasilkan 1 teman kami FIA (fail in action) karena kondisi fisik yang terbatas untuk melampaui tanjakan itu. Kami sepakati bergerak naik ke pos pengungsi yang teratas di pedukuhan Blali. Selanjutnya kami berpisah; saya, Antariksa, dan Antok bergerak ke arah barat, kemudian Agung, Ilal, dan Anton bergerak ke arah timur. Kami, tim saya masih berputar-putar ke sekitar titik pisah ini. Keberadaan bangunan dapat dikatakan sama sekali belum bisa dihuni. Masih banyak retakan yang mungkin sewaktu-waktu dapat jadi ancaman. Permintaan dari penduduk di sini kebanyakan adalah obat-obat anti gatal. Masih berputar sekitar Blali, kami mampir di pos pengungsian 1 dari pedukuhan ini. Memberi obat untuk gatal dan vitamin c untuk membuat stamina mereka fit. Di jam ini kami melihat mereka sedang mewujudkan tenda bantuan secara gotong-royong. Kemudian melihat beberapa titik- titik pengungsian. Sesekali kami bertemu dengan teman- teman kecil kita di sini. Kontainer Antok yang berisi snack untuk mereka mulai mengalir satu per satu.

09.20
Melalui jalan tembus dan memilih gang dengan animal instinct, kami meneruskan ke Ngepung. Di area pedukuhan ini kami melihat beberapa titik pengungsian sudah memakai tenda bantuan kita. Tidak ada keluhan sakit, mereka gembira karena kami mengunjungi lokasinya.
Sepuluh menit kemudian, masih di Ngepung... kami ketemu pos pengungsian satunya. Di sini kami langsung dikerubuti; sekali lagi keluhan yang ada adalah gatal dan masuk angin. Hanya satu kami mengobati luka akibat kejatuhan batu bata.
“Mas Dokter”, saya pribadi kaget dipanggil begitu,
“Sanes (bukan) Bu, kami bukan dokter, kami hanya pesepeda yang sedang melakukan patroli medis. Dan obat- obatan yang kami bahwa hanya untuk pertolongan pertama.” Ha..ha..ha..ha... itu tertawa versi mereka ketika mendengar jawaban kami.

10.15
Banyak pos pengungsian yang didirikan terletak di pinggir jalan, jadi sempat membuat kami berhenti bergerak. Karena tenda mereka menghalangi. Sekali lagi sepeda menolong kami. Langsung diangkat saja dan kami nggenjot lagi... menuju Poyahan.

11.00
Di situ situasinya kurang lebih sama. Nggak ada keluhan yang dapat mengeluarkan obat dari kontainer kami. Saya pikir ini hebat, dan mudah- mudahan itu dapat mereka jaga.
Kami lalu berjalan lebih atas, tetapi jalan yang ini sangat menanjak dan berundak. Kami berjalan dan menuntun sepeda ke atas. Di bagian pinggir Desa Poyahan sisi atas. Bantuan sudah sampai, kami berhenti agak lama di bagian ini. mungkin karena hari sudah siang sehingga energi kami mulai berkurang. Ngobrol dengan warga sekitar, sesekali cekikikan. Untung saja Antariksa, teman kami, punya stok snack untuk dimakan dan dapat menolong kami dari kelelahan sejenak.

12.05
Kami bergerak turun mendekati Ngreco dan Jelapan. Di area ini kami juga melihat jejak- jejak bantuan yang sudah disalurkan dan sudah mereka gunakan. Di sini suasananya agak tidak terlihat begitu kekurangan, dapat dikatakan mereka sudah cukup diback-up. Di pinggir jalan besar ada satu posko relawan dari organisasi lain yang juga menyediakan kru medis dan bantuan logistik. Kami pikir di titik ini mereka pasti sudah memenuhi kebutuhan warga Ngreco dan sekitarnya. Kalau sudah ramainya bantuan yang mengalir di area ini, mungkin bisa dipindah atau didrop ke titik lain yang lebih membutuhkan.
Sepuluh menit berikutnya, kami balik ke kampung tenda di Lapangan Blali dan makan siang. Dengan menu berkuah yang gak kalah lezatnya dengan menu sarapan sebelumnya. Kami dapat kabar, tim teman kami yang menyisir Pedukuhan Kalipakem, Karangasem, sudah turun, membungkus makan siangnya dan kembali ke area besepedanya kembali. Melihat ini membuat kami jadi panas. Kami konfirm ke koordinator pengumpulan data; area mana yang belum tercover, kami akan segera berangkat langsung tanpa berhenti ke situ. Dan kami sepakati area itu adalah Geger. Oke... kami segera berangkat. Tetapi sebelumnya stok obat batuk kami tambah terlebih dahulu.
Kami langsung jalan. Dengan satu tujuan: ke Pedukuhan Geger!

13.05
Setelah sampai di daerah Pedukuhan Pentung, kami belok ke kanan, kembali ke arah perbukitan. Melewati pedukuhan Dermojuang, kemudian terus menanjak ke Pedukuhan Geger. Selama kami lewat beberapa pedukuhan sebelum Geger tadi, semua area sudah tercover oleh bantuan karena jalannya sudah beraspal dan kami melihat beberapa organisasi relawan lain sudah beroperasi di daerah itu. “Aman..!” pikir kami ketika kami tanya bagaimana keadaan kesehatan mereka dan suasana titik-titik pos pengungsian yang mereka bangun. Mereka sudah satu-dua kali dibantu oleh organisasi relawan lain.

14.45
Kami sampai di Geger; kaget karena jalan tembus yang kami temui kami pikir akan sampai di mana, ternyata sampai di jalan besar. Meskipun itu bukan jalan yang diaspal, tetapi dari dilihat jejak roda mobil, bantuan pasti sudah masuk ke area ini.

15.15
Memang benar... Mereka baru saja di-sweeping oleh tim relawan dari Perguruan Tinggi Trisakti. Masuk akal karena obat yang kami bawa sudah gak laku. Ya memang benar, ibarat pedagang, barang dagangan kami sudah gak laku. Oke, berarti wilayah pedukuhan yang dari peta merupakan titik terjauh dari lapangan Blali sudah kami lihat.
Kalau mungkin dikira nggak terjangkau, nyatanya mereka sudah terjangkau.

Sampai ke Jorong, waktu sudah mulai sore. Matahari sudah mulai menjauh menuju ke peraduannya. Kami memutuskan balik ke jalan yang tadi kami lalui untuk naik. Kami takut kemalaman. Dan stok lampu yang kami bawa cuma dua, kami gak berani karena ketika turun keliatan kalau pinggir bukit itu curam sekali. Gak percaya? Lihat aja sendiri.
Metode wawancara kami yang lebih menghargai mereka yang sedang mengalami musibah ini memberi kesimpulan bahwa sebenarnya mereka banyak mengalami luka yang bersifat psikologis. Yang untuk tahu ke titik ini butuh interaksi dengan mereka dan intens. Tentunya kita akan dapat menggali informasi yang lebih dalam...

Ups! Bagaimana menulis laporannya? Dari tadi ketika kami bertemu dengan warga setempat kami hanya ngobrol saja. Nggak terasa kalau lupa mencatat. Mungkin ini sekedar usulan: bisa nggak ya kita punya cek list tentang target data yang ingin dicari? Biar kami yang di lapangan dapat langsung mencentangnya tanpa harus menulis.
Bisa jadi tulisan kita tidak terbaca dan bisa jadi juga semua volunteer yang terjun di pengumpulan data akan mendapat data yang berbeda-beda. Bagaimana kalau diseragamkan? []