Friday, June 02, 2006

Dari jam 6 pagi ke 6 sore (part 2)

laporan: popok tri wahyudi

Selesai mengumpulkan data dari semua target yang ditentukan tadi pagi, kami beristirahat sebentar di Lapangan Blali, untuk saling bercerita bagaimana pengalaman perjalanan tadi. Di sisi timur Desa Seloharjo, saya yang membawa handy talkie di tim yang menyisir bagian barat sempat mendengar tentang permintaan bantuan di Daerah Soka. Kedatangan warga dari Soka untuk meminta bantuan tanpa membawa daftar jumlah warga yang ada di daerahnya cukup membuat koordinator pengumpulan data sempat emosi.

Saya jadi trenyuh melihatnya. Hal seperti inikah yang merupakan persoalan penyaluran bantuan bencana? Orang yang memang jelas membutuhkan bantuan harus tertunduk bingung dan menurut saja ketika melihat permasalahan di operator penyalur bantuan. Di poin ini saya jadi sadar bagaimana repotnya mengemonah pengungsi yang jumlahnya ribuan dalam jangkauan yang jauh dan tidak terpusat. Apalagi keadaan alam yang cukup susah untuk didatangi. Karena itu, selama ini mereka sering terlewat oleh kendaraan yang mengangkut bantuan, yang hilir mudik didepan hidung mereka. Ya ... mereka (para pengungsi) nggak tahu cara mendapatkan bantuan.

Di sisi lain, memang nggak gampang mengelola ribuan pengungsi. Idealnya memang dibutuhkan operator yang berpengalaman. Dan memang gak ada salahnya kalau kita sekarang mulai belajar atas kekurangan kita ketika mengelola hal seperti di atas. Mungkin ini juga yang terjadi pada operator PMI ketika mereka mendistribusikan barang bantuan. Muncul kebingungan karena kurangnya informasi yang ada tentang tempat-tempat yang membutuhkan.

Bagi Ilal, teman pesepeda kami yang satu- satunya perempuan, dengan stok bantuan yang ada, ia merasa gak ada salahnya langsung mendrop bantuan ke titik-titik yang membutuhkan. Makanya, kuantitas obat dalam kontainer yang dibawa tim 2 lebih cepat habis dibanding tim 1. Itu pula yang menyebabkan tim 2 akhirnya merekomendasikan warga Soka untuk langsung meminta bantuan ke Lapangan Blali. Dalam catatan Ilal tertera pada Pedukuhan Soka RT 2 RW 17 terdapat sekitar 40 orang yang belum dibantu; tercatat juga 3 jenis sakit, seperti cangkrangen, luka, dan mencret. Tercatat juga keadaan pos pengungsian yang berada di kandang sapi yang beralaskan plastik kresek dengan kebersihan yang kurang, rumah yang memang sudah tidak layak untuk diakses, dan belum adanya pemulihan penerangan listrik di sana.

Tetapi alhambdulillah... ketika tim 1 sampai di kampung tenda—yang relatif masuk telat dibanding tim 2—kami dapat kabar bahwa permintaan bantuan untuk Pedukuhan Soka sudah ditindaklanjuti sore itu juga. Kami semua berbahagia dan bangga dapat berbuat sesuatu yang dapat membantu orang lain dengan segera...

Jam 6 sore, kami naik ke base di Jogja kemudian berkoordinasi dan mereview perjalanan hari itu, 1 Juni 06. Beberapa hal menarik disimpulkan dari diskusi kami. Memang laporan kami nggak mungkin dapat ditulis langsung, karena kita masih mencari format pengumpulan data yang cepat dan taktis. Poin penting yang perlu dipegang adalah bahwa kecenderungan para operator distribusi bantuan selama ini lebih berpegang pada ukuran administratif daripada ukuran kebutuhan. Kalau pendataan kependudukan kita sempurna dan menyimpan data yang tepat, hal ini tentu akan memudahkan kita untuk mendata. But???

Ya realitas mengatakan lain. Kita terjebak di dalamnya. Bagaimana para korban atau pengungsi bisa mendata cepat sementara, mungkin ... mereka nggak punya kertas. Bisa jadi ada, tetapi untuk mendapatkannya mereka harus masuk ke rumah yang penuh ancaman dari atap dan lantai yang selalu bergetar sewaktu-waktu. Maka kita akan menentukan skala prioritas, mulai dengan data yang masuk lebih dulu daripada data yang masuk belakangan dan bersifat segera.

Kami pesepeda juga merasakan betapa sulitnya medan yang ada, terutama yang di lereng dan punggung bukit. Kami saja kemarin nafasnya ngos-ngosan ketika menaiki perbukitan itu, lantas bagaimana dengan para pengumpul data yang berjalan kaki? Mobilitas kita di lapangan berkurang dan wilayah jangkauan yang perlu dicover jadi terbatas. Mungkin perlu teknis penyusuran yang lebih detil dan terencana. Sayang saja kalau medan yang sudah sulit itu, sekali jalan tidak terdata dengan sempurna.

Kemudian perlu adanya cek-ricek antara data yang masuk, karena perubahan di lapangan (Kampung Tenda gaiacorps) melaju dalam sepersekian detik. Super cepat. Begitu juga kebutuhan para pengungsi, kalau tidak ditangani dan diatur dengan tepat. Kondisi kesehatan dan psikis mereka akan drop juga. Kita semua mau tidak mau harus tangkas dan responsif. Jangan sekadar jadi nama stiker di mobil saja.

Ini juga mungkin menjadi kebutuhan kita ketika ingin mendengar lebih dalam kebutuhan para korban bencana. Mereka ingin dihargai dan diperhatikan sebagai manusia yang bermartabat. Kalau kita yang punya kelebihan ingin membantu yang kekurangan, janganlah sesekali bersifat arogan; bertanya tanpa turun dari mobil atau berbicara dengan menelunjukan jari ke posisi setara dengan kepala lawan bicara. Kami berpendapat sebenarnya mereka mengalami lebih banyak luka psikologis, sehingga untuk menjawab ini memang butuh interaksi yang intens dengan mereka dalam waktu lama. Akan lebih gampang pula menjangkaunya kalau jarak di antara mereka itu dekat.

Srett!! Laju roda sepeda kami berhenti.[]