Friday, June 02, 2006

NO FLAGS outside... FULL COLOUR inside...

curhat: popok tri wahyudi

Benar-benar menyesakkan melihat sebuah rombongan rescue team sedang stand by di parkiran sebuah hotel ternama, sementara hitungan hari pascagempa Sabtu pagi sudah memasuki hari keempat. Padahal dari jangkauan wilayah yang begitu luas dan jumlah korban yang perlu dibantu, menjadi tidak masuk akal kalau mereka bisa sesantai itu. Melihat performanya, mereka jelas memiliki sarana yang dapat membantu evakuasi luar biasa lebih cepat dan dapat mendukung mobilitas yang tinggi.

Sering juga kita temui teman- teman ‘transporter’, saat mengumpulkan bantuan dan mengantar ke tempat tujuan, karena berpacu dengan waktu kerap bertemu dengan ‘transporter’ operator lain yang penuh warna. Dalam hati tebersit juga keinginan mengerjai mereka ketika kami bertemu di tengah kemacetan lalu lintas Jogja. Membayangi laju kendaraan mereka yang penuh bendera itu.

Di satu sisi, yang demikian ini perlu sebagai sebuah identitas. Tetapi jika sudah berlebihan bukankah akan menyesakkan, apalagi medan gerak semua tim rescue adalah medan yang sangat sensitif. Semestinya kita dukung dan bantu mereka secara setara. Bukan menunjukkan posisi yang tidak setara karena ingin menempati posisi lebih tinggi dari mereka. Dan yang terdepan berkoar menjadi yang pertama menolong mereka.

Kita juga akan kaget jika terdengar suara sirene yang memekakkan kuping, mencoba membuka kemacetan lalu lintas. Kemudian ketika mereka lewat, kita akan terhenyak karena mereka mengunakan umbul-umbul dan identitas yang tertera lebih dari cukup. Apakah mereka bergerak cepat untuk menunjukkan keadaan darurat yang harus ditangani segera atau karena ada nama yang perlu diusung agar terlihat tidak tertinggal di arena kompetisi peran serta?

Kenapa kita harus bernama dulu sebelum bertindak? Apa yang perlu dikejar sehingga tindakan apa pun perlu bernama? Apakah kita akan berkenalan dulu dan bertukar nomor handphone? Apakah korban yang terbantu akan ingat dengan nama kita? Kalau ingin menolong seorang korban,...lha iyo selak modar, Kang!!

Di sini, di Kampung Tenda Blali, hal itu tidak pernah tampak. Dan perlu ditegaskan, Kampung Tenda bukan objek wisata; ini memang shelter para pengungsi. Jika ingin melihat lebih dalam area kami, bergabunglah menjadi relawan dengan kesungguhan hati untuk dapat membantu mereka dengan totalitas penuh, semisal tinggal di kampung ini dalam waktu lama.

Tetapi alangkah indah, penuh warna dan tak terlupakan-nya kalau kita, dalam situasi sedang tertimpa bencana, melihat serombongan anak- anak bermain bola, serombongan remaja bermain bola voli, belajar bersama saling berinteraksi. Melihat pelangi permainan yang penuh warna- warni. Warna yang sesungguhnya dalam keceriaan wajah para pengungsi. Tidak harus selalu di kulit kita penuh warna, yang terpenting di dalamnya ada semangat yang penuh warna.

Lihat bagaimana teman-teman relawan yang terlibat begitu semangat menyerentakkan langkah membantu mereka yang menjadi korban, yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, etnis dan budaya. Sebuah kerja besar lintas apa pun. Inilah yang membuat Kampung Tenda menjadi sebuah mozaik warna yang indah tanpa tandingan. Tanpa berpikir bendera apa yang dipakai, tetapi bagaimana para korban bisa terselamatkan dengan segera.

Ini keadaan darurat. Berwarna atau tidak bukan masalah. Atas nama kemanusiaan kita bergerak membantu sesama dengan banyak cara. Ini adalah peluang untuk menjadi ruang kelas di mana kita belajar banyak. Bagaimana mengatasi dan menanggulangi keadaan pascabencana yang kita sendiri tidak akan tahu kapan ia hadir di tengah-tengah kita.

Akur? Teman-teman, ayo bekerja kembali!