Sunday, June 04, 2006

Wisata Bencana di Akhir Minggu

feature: miranda

Transporter gaiacorps melaporkan, Jalan Imogiri Timur, Jalan Imogiri Barat, dan Jalan Parangtritis sepanjang pagi hingga menjelang malam ini mengalami kemacetan hingga sepanjang 3 kilometer.

Kemacetan diperkirakan terjadi karena meningkatnya jumlah wisatawan bencana pada akhir minggu ini, hari kedelapan pascabencana. Kebanyakan mereka melakukan perjalanan ke daerah-daerah bencana dan kamp-kamp pengungsian untuk memotret, atau sekadar melihat aktivitas pengungsi. Tetapi ada pula sejumlah keluarga yang berkeliling dengan mobil. Tidak sekadar untuk ‘berwisata’, tetapi juga membawa bantuan untuk disalurkan ke kamp-kamp pengungsian di sepanjang perjalanan. “Mereka datang sekeluarga, ngobrol-ngobrol, lalu membuka bagasi dan mengeluarkan sedikit bantuan yang mereka bawa,” ujar salah seorang relawan gaiacorps. Menurut Aan, salah satu transporter yang menjadi saksi mata, jenis-jenis bantuan yang mereka bawa di antaranya adalah sembako, hygiene kit, nasi bungkus, atau snack. Semuanya dalam kemasan-kemasan kecil.

Bencana gempa yang menimpa Jogjakarta dan Jawa Tengah, 27 Mei yang lalu memang tak hanya mengundang keprihatinan massal, tetapi juga perhatian dan decak dari masyarakat, baik penduduk lokal Jogja maupun orang-orang dari luar daerah. Sejak hari kedua pascabencana, kepadatan jalan menuju daerah Bantul dan sekitarnya salah satunya disebabkan oleh mereka yang berdiri di tepi-tepi jalan, memadati situs-situs korban bencana, entah untuk sekadar menonton atau mengambil gambar. Beberapa situs yang mengundang perhatian media dan kalangan luas di antaranya adalah gedung STIE Kerjasama dan gedung BPKP di Jalan Parangtritis.

Maraknya wisata bencana juga ditandai dengan ‘lenyapnya’ kamera dari peredaran. Beberapa teman yang memiliki akses ke media rekam tersebut menyatakan sulitnya mendapatkan kamera Single Lens Reflect (SLR), dari jenis manual hingga digital, terutama pada akhir minggu ini. Demikian pula yang dialami oleh salah seorang teman fotografer amatir yang datang dari Jakarta. Sejak Sabtu hingga Senin mendatang, kedatangan fotografer-fotografer, baik profesional maupun amatir, dari luar daerah ke Jogjakarta, mencapai puncaknya. Mereka datang untuk merekam sisa-sisa bencana di tempat kejadian.

Wisata di kala pascabencana memang ekses yang, kendati ironis, tak dapat terhindarkan. Mobilisasi massa ke daerah bencana terjadi tak hanya karena padatnya arus bantuan, tetapi juga karena besarnya rasa ingin tahu. Masyarakat berlomba-lomba menjadi saksi mata peristiwa; berlomba-lomba mengabadikan situs yang terimbas bencana. Gambar dan rekaman peristiwa seolah barang langka layak koleksi yang mengundang decak kagum dan pantas dibanggakan. Barangkali pula, kelak sebagian dari mereka akan menghuni galeri dalam pameran-pameran foto tematis, menjadi mitos yang hidup dari mulut ke mulut. Menjadi bagian dari kenangan yang, meski menyakitkan, tetap saja mengundang decak kagum. Menjadi wacana yang dipolemikkan, lalu berhenti. Terlupakan. Beberapa dari mereka bisa jadi tak berhenti sampai di situ; gambar dan informasi yang mereka miliki mungkin turut mendatangkan sesuatu untuk mereka yang menjadi korban, yang hidupnya tak berhenti sampai di kamp pengungsian saja. Begitulah seharusnya.

Dalam perjalanan menuju Blali, Seloharjo, saya sempat bergumam dengan seorang teman saat melewati mereka: “Kalau saja mereka yang berdiri di tepi-tepi jalan nggak cuma nonton, tapi ikut melakukan sesuatu untuk para korban bencana.” Teman saya menimpali, “Apalagi jumlah mereka banyak sekali. Kalau sekian banyak orang dikerahkan untuk jadi relawan yang mendampingi korban, bayangin.”

Akhir minggu ini menjadi akhir minggu yang riuh-ramai di daerah Bantul dan sekitarnya. Sejumlah artis pun turut datang, entah apa pun maksud kedatangan mereka. Pengungsi dan korban bencana tentu ikut senang, karena kedatangan mereka membawa buah tangan. Tetapi jangan lupa berempati. Jangan hanya jadi penonton. Mereka tak suka ditonton. Tengoklah salah satu tulisan di tepi jalan:

“Tolong, desa xxx, 100 m (tanda panah) rusak parah. Kami butuh bantuan, bukan jadi tontonan!!!”