Saturday, June 03, 2006

Mi Instan: Culture Shock!

feature: popok tri wahyudi

“Mi instan, I love you, mi instan, I love it, mi insssstaaaaan!!!”

Siapa tak kenal dengan lagu itu, yang dibawakan oleh sebuah grup band terkenal ibukota. Ya; siapa tak pernah merasakan mi instan? Makanan ini adalah makanan serba guna, cepat saji, ringkas, ringan, dan mudah didapat. Dengan adanya perkembangan teknologi, rasa yang dihasilkan juga bisa menjadi sangat variatif. Sampai-sampai semua makanan khas Indonesia (seolah-olah) bisa digantikan oleh mi instan. Dengan kemudahan yang ditawarkannya, otomatis mi instan menjadi populer. Ia menjadi makanan pengganti pertama, ketika makanan pokok kita tidak tersedia.

Saya percaya, kalian juga merasakannya. Tetapi siapa sangka dalam kasus bencana gempa bumi di Bantul, terjadi fenomena yang cukup menarik. Ada pergerakan distribusi mi instan besar- besaran. Dari daerah non-bencana menuju daerah bencana. Kita mengamini, mi instan adalah benda pertama yang dipilih untuk disumbangkan. Dengan kemudahan yang ditawarkan tadi, tetapi dengan minimnya informasi tentang daerah bencana dan sifat yang darurat, kita memilihnya. Sekali lagi, kita mengunakan ukuran kita sendiri untuk menilai kebutuhan orang lain.

Tengok kasus ini. Di Pedukuhan Jorong, kami waktu itu datang sebagai tim sepeda gaiacorps yang mencoba menjangkau area paling timur Seloharjo. Ternyata di daerah tersebut kami menjumpai keterkejutan dan ketakterdugaan mereka ketika mesti mengonsumsi mi instan. Karena bantuan yang masuk adalah mi instan. Culture shock-kah? Jelas mereka tidak terbiasa makan mi instan, sementara yang mudah didapat hanya makanan ini. Ketika bencana kelaparan melanda Papua, hal semacam terjadi. Kerap kali kita beranggapan, sebab situasinya darurat maka semua yang tidak terbiasa mesti dipaksakan dan dicobakan bertahan. Kalau selama ini kita beranggapan bahwa masyarakat kita sudah meng-global, ternyata tidak juga. Inilah buktinya; pada kenyataan akar rumput kita masih menemui fenomena ketaksetujuan terhadap kebiasaan umum tadi.

Hancurnya sentra ekonomi akibat bencana memang menyebabkan terputusnya jalur ketergantungan pada kebiasaan yang ada. Dari pengamatan sekilas kami, disimpulkan bahwa tidak semua daerah yang jauh dari jangkauan tidak bisa mandiri. Sebaliknya, kita melihat mereka bisa mandiri. Lagi-lagi, kita masih memakai ukuran kita sendiri untuk menentukannya. Di sisi lain, Yogyakarta, kota pendidikan yang selama ini kebutuhan hidup mahasiswanya ditopang oleh mi instan (untuk mengukurnya, coba hitung berapa warung mi instan yang ada di area kos-kosan) kena imbasnya.

Banyak pemilik warung mi instan pulang ke daerah asalnya. Karena mi instan, bahan baku utama warung mereka, menghilang dari pasaran; kalaupun ada pasti harganya melonjak dan mereka kesulitan menghitung harga jualnya. Di sekitaran base gaiacorps, dua warung mi instan, sejak beberapa hari pascabencana hingga hari ini, terlihat tutup. Mi instan secara besar- besaran bergerak pindah ke daerah bencana sebagai bentuk bantuan logistik.

Sebagian masyarakat kita sudah sangat tergantung dengan mi instan. Sementara sebagian lain lagi justru tidak akrab dengannya. Lucu, tetapi itulah perbedaan. Mungkin karena letak daerah yang (menurut bingkai pikir kita) terpencil. Tetapi kita semestinya berbangga, ada satu kelompok masyarakat yang memiliki satu kebiasaan berbeda dan terbukti bisa mandiri. Hipotesa saya, jika semua infrastuktur ekonomi di daerah ini bisa dibangun kembali, proses pemulihannya tentu akan berjalan lebih cepat. Benarkah demikian? []