Sunday, June 04, 2006

Finnally I Get Outta Here...

curhat: olive-liana

Hiahia... baru kali ini aku merasa jeda itu tak membosankan.
Baru kali ini aku merasa hari itu tidak melelahkan.
Baru kali ini juga semua terasa campur-aduk menjadi satu...

Pernah kutulis kalimat seperti ini di profil FS-ku.
"...Jikalau kita mau membagi beban kita, maka beban itu akan terasa lebih ringan, dan jika kita mau berbagi kebahagiaan kita, maka kebahagiaan itu akan menjadi berlipat-lipat..."
Kebahagiaan tidak untuk dicari, tapi untuk diciptakan dan ditularkan.

Aku memandang 1 minggu ke belakang. Jika tak ada gempa, mungkin Red Landy itu (Mobil Klinik) Senin besok masih mangkal di depan Tiga Serangkai seperti biasa. Semua berawal dari sesuatu yang sederhana, menjadi sangat luar biasa...
Kesibukan yang sama sekali di luar bayanganku... I have no idea if I don`t have any activities, dan apa yang sekarang kulakukan benar-benar tidak pernah terbayangkan.

Momento, Mobil Klinik, Jiffest, agenda pameran, sampai gempa, dan sekarang terjebak di antara dering telpon dan papan kibor yang siap dihajar sepanjang waktu...

Nun jauh di selatan berdiri sebuah perkampungan yang kunamakan pemukiman ga"L"ia, hasil kerja keras teamwork gaia untuk membantu para korban bencana gempa di Bantul sejak seminggu yang lalu. Kebetulan pula ada person-person dengan karakteristik persis Asterix dan Obelix di kamp itu (maaf; bukan maksud hati tapi saya memang suka sekali dengan 2 karakteristik tokoh tersebut, dan memang ada yg menyerupainya di gaia, hehehe).

Belum lagi tragedi "gempa" lokal yang mengoyak jempol kakiku.
Semua serba tak terbayangkan. Sorenya masih check list bantuan yang datang untuk membantu korban bencana di Bantul, di antaranya ada Syringe dan alat jahit menjahit luka. Eh... lha kok malamnya aku yang dijahit. Mana aku phobia rumah sakit pula... Tapi kejadian malam itu ada hikmahnya juga. Akhirnya bisa melihat base manager kita tidak dengan muka tegang lagi ... bisa tersenyum dan tertawa-tawa lepas.

Semua menertawakan ketololanku yang ketakutan dengan rumah sakit. Belum lagi pas dijahit, dari balik pintu ruang UGD mereka tega2nya memotret dan kirim sms yg isinya "...Manaaa ekspresinya...?" niruin tagline iklan rokok itu.
Sambil terisak saya berkata kepada susternya, "Suster ... habis ini saya boleh pulang, kan? Saya nggak maw nginep, saya banyak kerjaan..." (sok sibuk bener ya, padahal itu untuk menyamarkan ketakutanku/phobia terhadap rumah sakit)
Susternya nyeletuk, "Mbaknya ini aneh, udah gede kok nangis. Sakit po, dijahit? Kan dah dibius, nggak malu po histeris gitu? Malem2 nggak ada yang jual air mata lho, gimana kalo air matanya abis? Lagian berisik, banyak yang tidur, tuh."
Segera dengan kencang aku menjawab, "BAPAKKU TUH MATI DI RUMAH SAKIT, KALO MASALAH DIJAHIT SAKIT SIH ENGGAK! ORANG PHOBIA MANA BISA MILIH-MILIH MAU PHOBIA SAMA APAAN, GIMANA SIIIIH...."
Segera setelah semua siksaan dijalankan aku beringsut dari tempat tidur keparat dan bergegas lari loncat2 dengan satu kaki. Minggat dari situ secepat mungkin adalah targetku, nggak peduli meski aku adalah victim/pasien saat itu...
"Ayoo, buruan pulang... nggak maw lama-lama, tar tambah sakit, lagi!" Aku langsung beringsut ke mobil dengan bayangan kecemasan masih menyertaiku. Sementara teman2 yang malam itu dengan cemas mengantarkan ke rumah sakit hanya tertawa-tawa.

Vidi nyeletuk, "Mbak, jahitnya ama jahit baju mahalan jahit ini, ya. Tau gitu jahit di kamp kita di Blali aja." Hm... iya ya, kan di sana nggak kayak rumah sakit, jadi aku bisa santai tanpa ketakutan...

2 days later, akhirnya aku bisa keluar dari sub-kerajaan "gaia" menuju kamp di Blali, melonggarkan diri dari jepitan-jepitan itu, menembus malam Minggu yang crowd pascagempa; satu-satunya alasan yang membuatku bisa meninggalkan "kantor" malam ini: keharusan mengganti perban bekas jahitanku besok. Sementara sangatlah tidak mungkin meninggalkan sub-kerajaan gaia, pagi sampai sore hari. Bisa-bisa ntar ruwet sambil mengangkut bantuan obat-obatan ke kamp.

Aku cukup nyaman dirawat di sana, karena tidak bernuansakan rumah sakit, tapi kayak lagi kemping gitu...

*Sepertinya semua sudah mulai tertib dan membaik, meski gempa masih terus saja berlangsung.*

Perban sukses terganti dan artinya harus harus segera balik dengan monitor dering telpon dan papan kibor menunggu AGAIN...!!!
Dini hari kutinggalkan kampung tenda Blali dengan hati penuh harapan.
Semoga saja semua mahluk berbahagia.

-curhat Olive yg suka hujan-

Wisata Bencana di Akhir Minggu

feature: miranda

Transporter gaiacorps melaporkan, Jalan Imogiri Timur, Jalan Imogiri Barat, dan Jalan Parangtritis sepanjang pagi hingga menjelang malam ini mengalami kemacetan hingga sepanjang 3 kilometer.

Kemacetan diperkirakan terjadi karena meningkatnya jumlah wisatawan bencana pada akhir minggu ini, hari kedelapan pascabencana. Kebanyakan mereka melakukan perjalanan ke daerah-daerah bencana dan kamp-kamp pengungsian untuk memotret, atau sekadar melihat aktivitas pengungsi. Tetapi ada pula sejumlah keluarga yang berkeliling dengan mobil. Tidak sekadar untuk ‘berwisata’, tetapi juga membawa bantuan untuk disalurkan ke kamp-kamp pengungsian di sepanjang perjalanan. “Mereka datang sekeluarga, ngobrol-ngobrol, lalu membuka bagasi dan mengeluarkan sedikit bantuan yang mereka bawa,” ujar salah seorang relawan gaiacorps. Menurut Aan, salah satu transporter yang menjadi saksi mata, jenis-jenis bantuan yang mereka bawa di antaranya adalah sembako, hygiene kit, nasi bungkus, atau snack. Semuanya dalam kemasan-kemasan kecil.

Bencana gempa yang menimpa Jogjakarta dan Jawa Tengah, 27 Mei yang lalu memang tak hanya mengundang keprihatinan massal, tetapi juga perhatian dan decak dari masyarakat, baik penduduk lokal Jogja maupun orang-orang dari luar daerah. Sejak hari kedua pascabencana, kepadatan jalan menuju daerah Bantul dan sekitarnya salah satunya disebabkan oleh mereka yang berdiri di tepi-tepi jalan, memadati situs-situs korban bencana, entah untuk sekadar menonton atau mengambil gambar. Beberapa situs yang mengundang perhatian media dan kalangan luas di antaranya adalah gedung STIE Kerjasama dan gedung BPKP di Jalan Parangtritis.

Maraknya wisata bencana juga ditandai dengan ‘lenyapnya’ kamera dari peredaran. Beberapa teman yang memiliki akses ke media rekam tersebut menyatakan sulitnya mendapatkan kamera Single Lens Reflect (SLR), dari jenis manual hingga digital, terutama pada akhir minggu ini. Demikian pula yang dialami oleh salah seorang teman fotografer amatir yang datang dari Jakarta. Sejak Sabtu hingga Senin mendatang, kedatangan fotografer-fotografer, baik profesional maupun amatir, dari luar daerah ke Jogjakarta, mencapai puncaknya. Mereka datang untuk merekam sisa-sisa bencana di tempat kejadian.

Wisata di kala pascabencana memang ekses yang, kendati ironis, tak dapat terhindarkan. Mobilisasi massa ke daerah bencana terjadi tak hanya karena padatnya arus bantuan, tetapi juga karena besarnya rasa ingin tahu. Masyarakat berlomba-lomba menjadi saksi mata peristiwa; berlomba-lomba mengabadikan situs yang terimbas bencana. Gambar dan rekaman peristiwa seolah barang langka layak koleksi yang mengundang decak kagum dan pantas dibanggakan. Barangkali pula, kelak sebagian dari mereka akan menghuni galeri dalam pameran-pameran foto tematis, menjadi mitos yang hidup dari mulut ke mulut. Menjadi bagian dari kenangan yang, meski menyakitkan, tetap saja mengundang decak kagum. Menjadi wacana yang dipolemikkan, lalu berhenti. Terlupakan. Beberapa dari mereka bisa jadi tak berhenti sampai di situ; gambar dan informasi yang mereka miliki mungkin turut mendatangkan sesuatu untuk mereka yang menjadi korban, yang hidupnya tak berhenti sampai di kamp pengungsian saja. Begitulah seharusnya.

Dalam perjalanan menuju Blali, Seloharjo, saya sempat bergumam dengan seorang teman saat melewati mereka: “Kalau saja mereka yang berdiri di tepi-tepi jalan nggak cuma nonton, tapi ikut melakukan sesuatu untuk para korban bencana.” Teman saya menimpali, “Apalagi jumlah mereka banyak sekali. Kalau sekian banyak orang dikerahkan untuk jadi relawan yang mendampingi korban, bayangin.”

Akhir minggu ini menjadi akhir minggu yang riuh-ramai di daerah Bantul dan sekitarnya. Sejumlah artis pun turut datang, entah apa pun maksud kedatangan mereka. Pengungsi dan korban bencana tentu ikut senang, karena kedatangan mereka membawa buah tangan. Tetapi jangan lupa berempati. Jangan hanya jadi penonton. Mereka tak suka ditonton. Tengoklah salah satu tulisan di tepi jalan:

“Tolong, desa xxx, 100 m (tanda panah) rusak parah. Kami butuh bantuan, bukan jadi tontonan!!!”

Warga Mulai Membangun Hunian yang Lebih Layak

gaiacorps'today, 4/6: 15.30 WIB

Setelah sebelumnya mulai membangun kamp pengungsian dengan perbekalan seadanya pascabencana, kemarin dan hari ini warga Kampung Tenda bersama tim relawan
gaiacorps mulai membangun kompleks tenda layak huni.

Pembangunan kompleks tenda besar yang layak huni untuk warga mulai berlangsung kemarin (3/6) dan hari ini (4/6). Selama dua hari masa pembangunan, gaiacorps menargetkan sebanyak 22 tenda berdiri, masing-masing tenda untuk 5 KK (total akan menampung 110 KK, dengan total penghuni 437 jiwa). Untuk membangun kompleks tenda layak huni ini, dilibatkan sebanyak 30 relawan gaiacorps dan 26 perwakilan dari masyarakat Kampung Tenda dan Kampung Tenda Satelit.

Selain membangun kompleks tenda layak huni, gaiacorps membangun pula 5 kamar mandi dan WC di Kampung Tenda. Yudhi Hermanu dari gaiacorps menjanjikan hari ini infrastruktur Kampung Tenda sudah akan seluruhnya terlengkapi. Fasilitas-fasilitas yang dijanjikan tersebut antara lain: tenda penampungan layak huni, kamar mandi dan WC, ruang serba guna yang diperlengkapi dengan mushola, dapur umum, instalasi air bersih dan sanitasi air, serta instalasi listrik. Sejak kemarin, PLN mengalirkan listrik dengan pemakaian tanpa batas (loss setrum) dan menyediakan sambungan khusus untuk Kampung Tenda Blali, Seloharjo, Pundong, Bantul.

Dengan adanya kelengkapan fasilitas tersebut, tenda-tenda sederhana yang dibangun sendiri oleh warga di sekitar tenda sekretariat gaiacorps sejak hari pertama bencana akan dibongkar, dan warga dapat menikmati hunian baru yang jauh lebih layak. Dari data terakhir yang masuk sebelum laporan ini diturunkan, bantuan gaiacorps untuk Desa Seloharjo mencakup 1201 KK, terdiri dari total 4385 jiwa dengan perincian 320 bayi, 716 anak-anak, 35 ibu hamil dan 796 penduduk lanjut usia dari 11 dusun.

Selain Kampung Tenda, masyarakat membangun pula Kampung Tenda Satelit di daerah-daerah yang letaknya terlalu jauh dari Kampung Tenda. Saat ini tercatat sebanyak 25 Kampung Tenda Satelit tersebar di sekitar Kampung Tenda. Masing-masing Kampung Tenda Satelit tersebut masih belum memiliki fasilitas MCK yang layak. Mulai tanggal 10 mendatang, tim gaiacorps akan melakukan survey ke Kampung-Kampung Tenda Satelit dan membangun fasilitas kamar mandi/WC untuk warga, setelah terlebih dahulu menentukan lokasi. Pada masing-masing Kampung Tenda Satelit akan dibangun 1 kamar mandi dan WC.

Sementara membangun, tim relawan gaiacorps bersama perwakilan warga juga melakukan penyisiran dan melakukan quick thematic mapping assessment, untuk memetakan kondisi tempat tinggal warga. Kegiatan sudah dimulai sejak kemarin dan diselesaikan hari ini. Hasil quick thematic mapping assessment mencatat, terdapat 1075 rumah dengan kondisi 122 rusak sedang, 745 rumah rusak berat, dan 208 rumah rusak total. Tim relawan gaiacorps membagi tingkat kerusakan rumah warga ke dalam tiga kategori. Kategori rusak sedang untuk kisaran kerusakan bangunan 10 hingga 75%, rusak berat untuk kerusakan bangunan 76 hingga 90%, dan rusak total untuk kerusakan bangunan 90 hingga 100% (runtuh total). Sore ini, melalui rembug warga, hasil pemetaan akan dikonfirmasikan kembali kepada seluruh warga. Dari forum tersebut, warga akan membicarakan solusi yang terbaik untuk mereka selanjutnya. [m]

pictures: "Kami Tak Pernah Kehabisan Harapan."

Kampung Tenda Blali, Seloharjo, Pundong, Bantul.
Inilah tempat tinggal kami: Kampung Tenda Blali, Seloharjo, Pundong, Bantul.

Kesibukan warga di dapur umum.


















Kesibukan warga di dapur umum: "Hidup mesti terus berjalan."













Seorang dokter, relawan dari India, sedang memeriksa pasien di settle clinic Kampung Tenda.













Membuka jahitan: "...tetapi sesuatu sebab peristiwa itu belum sempat terjahit benar."













Warga bermain voli di lapangan: "Kami tak pernah kehilangan senja."