Friday, June 02, 2006

update: kebutuhan medis untuk korban bencana gempa

Rekan-rekan yang baik,
Terima kasih atas bantuan Anda terhadap korban bencana gempa Yogyakarta yang disalurkan melalui gaiacorps - yayasan aia selama ini. Kini, kami tengah bersama-sama menjalani fase rehabilitasi desa Seloharjo, Pundong, Bantul, dengan membangun Kampung Tenda lengkap dengan klinik menetap, fasilitas sanitasi, dan dapur umum untuk korban mengungsi di Lapangan Blali, Seloharjo, serta menyediakan fasilitas dua mobil klinik untuk mencapai daerah-daerah sulit akses. Jumlah warga yang dicover sementara ini mencapai 4128 jiwa dalam 1102 KK. Sedangkan penanganan medis yang kami lakukan saat ini cenderung merupakan penanganan kuratif dan preventif untuk warga.

Karena perubahan treatment terhadap warga, bantuan berupa obat-obatan yang kami butuhkan mengalami beberapa perubahan. Berikut adalah kebutuhan urgen obat-obatan kami saat ini (updated 2 Juni 2006, 12.30 WIB):

  1. OBH syrup
  2. Furosemide
  3. Injeksi Pehacaine
  4. Cotrimoxazole syrup
  5. Sakaneuron
  6. Hufavicee
  7. Bedak Salicyl
  8. Ketokonazole tablet
  9. Multivitamin anak
  10. CTM
  11. Serum ATS + cool box
  12. Vaksin TT + cool box
  13. Cairan antiseptik
  14. Oralit
  15. Chlor Etil
  16. Clicon Liquid
  17. Arsen Dental Pulga
  18. Eugenol + Fletcher
  19. Selimut
  20. Tisupatan Glass ionocor
  21. Chlor Eter (anesthesia topical)
  22. Daneuron
  23. Amoxicillin
  24. Asam Mefenamat
  25. Terra F
  26. Neuromex
  27. Captopril
  28. Mertigo
  29. GG
  30. Buscopan Plus tablet
  31. Ranitidine
  32. Cimetidine
  33. Antasida Doen,
  34. Thrombophob
  35. Antalgin tablet
  36. Paracetamol tablet
  37. Metil Prednisolon tablet
  38. Obat batuk & pilek untuk anak
  39. Dextral
  40. Kaopectate / New Kaominal
  41. Oralit
  42. Clobasan tablet
  43. Versizine
  44. Sangobion
  45. Vometa syrup
  46. Kalium Diklofenak
  47. Topical salep antibacterial & fungi
  48. Vitamin suplemen untuk anak kecil & dewasa
  49. Pil KB
  50. Dexametason
  51. Prednison
  52. CTM
  53. Ketokonazole tablet
  54. Bedak Salicyl
  55. Tetes telinga
  56. Minyak kayu putih botol kecil
  57. Hidrokortison cream
  58. Betametason cream
  59. Antasida Doen
  60. Ketokonazole cream
  61. Gentamisin cream
  62. Basitrasin oint

Terima kasih atas perhatian dan bantuan Anda.
Jabat erat!

Song of The Transporter

curhat: ruben

“….whatever tomorrow brings i’ll be there,
with open arms and open eyes…………….”
- Drive by Incubus

Sorry, saya suka menghubung2kan situasi dengan lagu. Tapi hanya lirik diatas yg bisa saya “nyanyikan” dalam waktu kurang lebih seminggu ini.

Setiap hari saya harus membawa relawan dan relawati serta logistik from gaia to mblale. Saya menyebutnya Route 666.

Melewati Route 666 setiap hari adalah sebuah pengalaman pertama dalam hidup saya.

Kaget?? Awalnya saja., semakin sering melewati Route 666 itu menjadikan sirine ambulan yg berpapasan dengan saya seperti lagu yg mengiringi perjalanan saya dan terus menerus meraung dalam mimpi saya.

Kurang tidur, makan di tengah2 perjalanan adalah hal yg lumrah dalam situasi saat ini. Ditambah ayunan kopling yg ditekan dengan kaki kiri membuat dengkul kiri saya semakin gemetaran dimana kemacetan sedang berlangsung di Route 666 itu. (Thank God they give me power steering car for me).

Hmmpppfff………………………………………………… Here I go again………
Keep on rollin’ guys…!!!!

*Ruben out…

NO FLAGS outside... FULL COLOUR inside...

curhat: popok tri wahyudi

Benar-benar menyesakkan melihat sebuah rombongan rescue team sedang stand by di parkiran sebuah hotel ternama, sementara hitungan hari pascagempa Sabtu pagi sudah memasuki hari keempat. Padahal dari jangkauan wilayah yang begitu luas dan jumlah korban yang perlu dibantu, menjadi tidak masuk akal kalau mereka bisa sesantai itu. Melihat performanya, mereka jelas memiliki sarana yang dapat membantu evakuasi luar biasa lebih cepat dan dapat mendukung mobilitas yang tinggi.

Sering juga kita temui teman- teman ‘transporter’, saat mengumpulkan bantuan dan mengantar ke tempat tujuan, karena berpacu dengan waktu kerap bertemu dengan ‘transporter’ operator lain yang penuh warna. Dalam hati tebersit juga keinginan mengerjai mereka ketika kami bertemu di tengah kemacetan lalu lintas Jogja. Membayangi laju kendaraan mereka yang penuh bendera itu.

Di satu sisi, yang demikian ini perlu sebagai sebuah identitas. Tetapi jika sudah berlebihan bukankah akan menyesakkan, apalagi medan gerak semua tim rescue adalah medan yang sangat sensitif. Semestinya kita dukung dan bantu mereka secara setara. Bukan menunjukkan posisi yang tidak setara karena ingin menempati posisi lebih tinggi dari mereka. Dan yang terdepan berkoar menjadi yang pertama menolong mereka.

Kita juga akan kaget jika terdengar suara sirene yang memekakkan kuping, mencoba membuka kemacetan lalu lintas. Kemudian ketika mereka lewat, kita akan terhenyak karena mereka mengunakan umbul-umbul dan identitas yang tertera lebih dari cukup. Apakah mereka bergerak cepat untuk menunjukkan keadaan darurat yang harus ditangani segera atau karena ada nama yang perlu diusung agar terlihat tidak tertinggal di arena kompetisi peran serta?

Kenapa kita harus bernama dulu sebelum bertindak? Apa yang perlu dikejar sehingga tindakan apa pun perlu bernama? Apakah kita akan berkenalan dulu dan bertukar nomor handphone? Apakah korban yang terbantu akan ingat dengan nama kita? Kalau ingin menolong seorang korban,...lha iyo selak modar, Kang!!

Di sini, di Kampung Tenda Blali, hal itu tidak pernah tampak. Dan perlu ditegaskan, Kampung Tenda bukan objek wisata; ini memang shelter para pengungsi. Jika ingin melihat lebih dalam area kami, bergabunglah menjadi relawan dengan kesungguhan hati untuk dapat membantu mereka dengan totalitas penuh, semisal tinggal di kampung ini dalam waktu lama.

Tetapi alangkah indah, penuh warna dan tak terlupakan-nya kalau kita, dalam situasi sedang tertimpa bencana, melihat serombongan anak- anak bermain bola, serombongan remaja bermain bola voli, belajar bersama saling berinteraksi. Melihat pelangi permainan yang penuh warna- warni. Warna yang sesungguhnya dalam keceriaan wajah para pengungsi. Tidak harus selalu di kulit kita penuh warna, yang terpenting di dalamnya ada semangat yang penuh warna.

Lihat bagaimana teman-teman relawan yang terlibat begitu semangat menyerentakkan langkah membantu mereka yang menjadi korban, yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, etnis dan budaya. Sebuah kerja besar lintas apa pun. Inilah yang membuat Kampung Tenda menjadi sebuah mozaik warna yang indah tanpa tandingan. Tanpa berpikir bendera apa yang dipakai, tetapi bagaimana para korban bisa terselamatkan dengan segera.

Ini keadaan darurat. Berwarna atau tidak bukan masalah. Atas nama kemanusiaan kita bergerak membantu sesama dengan banyak cara. Ini adalah peluang untuk menjadi ruang kelas di mana kita belajar banyak. Bagaimana mengatasi dan menanggulangi keadaan pascabencana yang kita sendiri tidak akan tahu kapan ia hadir di tengah-tengah kita.

Akur? Teman-teman, ayo bekerja kembali!

Dari jam 6 pagi ke 6 sore (part 2)

laporan: popok tri wahyudi

Selesai mengumpulkan data dari semua target yang ditentukan tadi pagi, kami beristirahat sebentar di Lapangan Blali, untuk saling bercerita bagaimana pengalaman perjalanan tadi. Di sisi timur Desa Seloharjo, saya yang membawa handy talkie di tim yang menyisir bagian barat sempat mendengar tentang permintaan bantuan di Daerah Soka. Kedatangan warga dari Soka untuk meminta bantuan tanpa membawa daftar jumlah warga yang ada di daerahnya cukup membuat koordinator pengumpulan data sempat emosi.

Saya jadi trenyuh melihatnya. Hal seperti inikah yang merupakan persoalan penyaluran bantuan bencana? Orang yang memang jelas membutuhkan bantuan harus tertunduk bingung dan menurut saja ketika melihat permasalahan di operator penyalur bantuan. Di poin ini saya jadi sadar bagaimana repotnya mengemonah pengungsi yang jumlahnya ribuan dalam jangkauan yang jauh dan tidak terpusat. Apalagi keadaan alam yang cukup susah untuk didatangi. Karena itu, selama ini mereka sering terlewat oleh kendaraan yang mengangkut bantuan, yang hilir mudik didepan hidung mereka. Ya ... mereka (para pengungsi) nggak tahu cara mendapatkan bantuan.

Di sisi lain, memang nggak gampang mengelola ribuan pengungsi. Idealnya memang dibutuhkan operator yang berpengalaman. Dan memang gak ada salahnya kalau kita sekarang mulai belajar atas kekurangan kita ketika mengelola hal seperti di atas. Mungkin ini juga yang terjadi pada operator PMI ketika mereka mendistribusikan barang bantuan. Muncul kebingungan karena kurangnya informasi yang ada tentang tempat-tempat yang membutuhkan.

Bagi Ilal, teman pesepeda kami yang satu- satunya perempuan, dengan stok bantuan yang ada, ia merasa gak ada salahnya langsung mendrop bantuan ke titik-titik yang membutuhkan. Makanya, kuantitas obat dalam kontainer yang dibawa tim 2 lebih cepat habis dibanding tim 1. Itu pula yang menyebabkan tim 2 akhirnya merekomendasikan warga Soka untuk langsung meminta bantuan ke Lapangan Blali. Dalam catatan Ilal tertera pada Pedukuhan Soka RT 2 RW 17 terdapat sekitar 40 orang yang belum dibantu; tercatat juga 3 jenis sakit, seperti cangkrangen, luka, dan mencret. Tercatat juga keadaan pos pengungsian yang berada di kandang sapi yang beralaskan plastik kresek dengan kebersihan yang kurang, rumah yang memang sudah tidak layak untuk diakses, dan belum adanya pemulihan penerangan listrik di sana.

Tetapi alhambdulillah... ketika tim 1 sampai di kampung tenda—yang relatif masuk telat dibanding tim 2—kami dapat kabar bahwa permintaan bantuan untuk Pedukuhan Soka sudah ditindaklanjuti sore itu juga. Kami semua berbahagia dan bangga dapat berbuat sesuatu yang dapat membantu orang lain dengan segera...

Jam 6 sore, kami naik ke base di Jogja kemudian berkoordinasi dan mereview perjalanan hari itu, 1 Juni 06. Beberapa hal menarik disimpulkan dari diskusi kami. Memang laporan kami nggak mungkin dapat ditulis langsung, karena kita masih mencari format pengumpulan data yang cepat dan taktis. Poin penting yang perlu dipegang adalah bahwa kecenderungan para operator distribusi bantuan selama ini lebih berpegang pada ukuran administratif daripada ukuran kebutuhan. Kalau pendataan kependudukan kita sempurna dan menyimpan data yang tepat, hal ini tentu akan memudahkan kita untuk mendata. But???

Ya realitas mengatakan lain. Kita terjebak di dalamnya. Bagaimana para korban atau pengungsi bisa mendata cepat sementara, mungkin ... mereka nggak punya kertas. Bisa jadi ada, tetapi untuk mendapatkannya mereka harus masuk ke rumah yang penuh ancaman dari atap dan lantai yang selalu bergetar sewaktu-waktu. Maka kita akan menentukan skala prioritas, mulai dengan data yang masuk lebih dulu daripada data yang masuk belakangan dan bersifat segera.

Kami pesepeda juga merasakan betapa sulitnya medan yang ada, terutama yang di lereng dan punggung bukit. Kami saja kemarin nafasnya ngos-ngosan ketika menaiki perbukitan itu, lantas bagaimana dengan para pengumpul data yang berjalan kaki? Mobilitas kita di lapangan berkurang dan wilayah jangkauan yang perlu dicover jadi terbatas. Mungkin perlu teknis penyusuran yang lebih detil dan terencana. Sayang saja kalau medan yang sudah sulit itu, sekali jalan tidak terdata dengan sempurna.

Kemudian perlu adanya cek-ricek antara data yang masuk, karena perubahan di lapangan (Kampung Tenda gaiacorps) melaju dalam sepersekian detik. Super cepat. Begitu juga kebutuhan para pengungsi, kalau tidak ditangani dan diatur dengan tepat. Kondisi kesehatan dan psikis mereka akan drop juga. Kita semua mau tidak mau harus tangkas dan responsif. Jangan sekadar jadi nama stiker di mobil saja.

Ini juga mungkin menjadi kebutuhan kita ketika ingin mendengar lebih dalam kebutuhan para korban bencana. Mereka ingin dihargai dan diperhatikan sebagai manusia yang bermartabat. Kalau kita yang punya kelebihan ingin membantu yang kekurangan, janganlah sesekali bersifat arogan; bertanya tanpa turun dari mobil atau berbicara dengan menelunjukan jari ke posisi setara dengan kepala lawan bicara. Kami berpendapat sebenarnya mereka mengalami lebih banyak luka psikologis, sehingga untuk menjawab ini memang butuh interaksi yang intens dengan mereka dalam waktu lama. Akan lebih gampang pula menjangkaunya kalau jarak di antara mereka itu dekat.

Srett!! Laju roda sepeda kami berhenti.[]

Dari jam 6 pagi ke jam 6 sore (part 1)

laporan: popok tri wahyudi

Ini adalah catatan singkat dari perjalanan kami ke daerah sisi bukit, di belakang perkampungan tenda yang berada di lapangan Blali, Seloharjo. Kami bertujuh datang ke Blali untuk membantu tim data yang keliling dengan bersepeda. Ya... memang kami pesepeda semua. Saya, Agung Kurniawan, Antariksa, Aisyah Hilal, Maryanto, Anton Subiyanto, dan Aji. Dengan sepenuh hati dan bersemangat kami berniat membantu teman- teman di gaiacorps yang mengelola kampung tenda di Blali.
Kalau ini dibilang sebuah kebetulan juga nggak; sebenarnya ini sebuah respon cepat dari teman- teman bersepeda saya terhadap bencana gempa di Jogja. Mereka semua adalah operator dari beberapa organisasi nirlaba yang juga mempunyai jam kerja padat. Meskipun organisasi mereka juga men-support bencana ini. Di konteks ini, mereka mengaktifkan insting sebagai pesepedanya. Apa yang bisa kami bisa bantu kalau nggak dengan bahasa sepeda? Di mana kendaraan ajaib ini mempunyai banyak kelebihan dibanding kendaraan lain. Bukankah .... nggak ada jalan yang gak bisa dijelajah oleh sepeda!
Oke dan siap..! Dengan berbagai medan. Itu jawaban teman- teman ketika mereka saya ajak untuk terlibat dalam perjalanan sore ini. Ya, kami jalan tadi pagi 1 Juni 2006 dan sampai di pos keberangkatan jam 6 sore tadi. Ini catatannya, dari waktu ke waktu.

05.00
Kami start terbang ke lokasi dihantar oleh sang “transporter raksasa” kita, Aan. Ini bukan masalah besar, walaupun kalau ditaksir dari pekerjaan yang dilakukan oleh mereka sehari-hari, terhitung berat untuk bangun pagi. Ya ... kami sering telat untuk tidur. Terakhir perjalanan yang kami lakukan 2 minggu sebelum gempa adalah menerobos barikade penjagaan SAR dan polisi di kawasan Kaliurang, hanya untuk makan jadah tempe-nya Mbah Carik.(sorri ... biar seimbang spiritnya, hubungan antara utara dan selatan)
Tetapi sebagai pertanggungjawaban yang logis sebagai pesepeda berapa pun telatnya kami tidur, kami akan bangun pagi. Oke.. mau bersepeda ke mana pun tak lakoni. Tapi alon-alon disaponi, yo’i rek!!

06.00
Kami sampai di titik penerjunan di Lapangan Blali sekaligus sebagai titik startnya juga. Lapor ke master pertumbuhan “General Pepeng” untuk siap ditugaskan.Biar energi dengkul kami full, jelas ... kami harus sarapan sebentar.

07.00
Tantangan baru. Kami nggak hanya mengumpulkan data tetapi melakukan patroli medis. Dengan perlengkapan PPPK standar. Untuk itu kami membawa kontainer dan diisi di logistik medis. Kami briefing dengan teman volunteer lain yang sudah stay beberapa hari di lokasi ini. Front end Andre “the commander in charge”, tentang...bla...bla...bla... Maksudnya kami siap menyisir dan mendata informasi tentang aktivitas para warga yang mengungsi, tentang bagaimana mereka hidup, kebersihan lingkungannya, titik- titik pengungsian, infrastruktur yang hancur,dan tentu saja sosialisasi keberadaan tenaga medis dan shelter pengungsian yang ada di Lapangan Blali.


08.00
Genjoot, Bung... Kalau gak salah itu yang pernah dikatakan oleh Sukarno, tukang becak tetangga saya. Kami langsung bergerak ke arah bukit. Damn! tanjakannya. Lumayan tinggi. Kemiringan sekitar 24°. Gak masalah meskipun tanpa pemanasan. Tapi menghasilkan 1 teman kami FIA (fail in action) karena kondisi fisik yang terbatas untuk melampaui tanjakan itu. Kami sepakati bergerak naik ke pos pengungsi yang teratas di pedukuhan Blali. Selanjutnya kami berpisah; saya, Antariksa, dan Antok bergerak ke arah barat, kemudian Agung, Ilal, dan Anton bergerak ke arah timur. Kami, tim saya masih berputar-putar ke sekitar titik pisah ini. Keberadaan bangunan dapat dikatakan sama sekali belum bisa dihuni. Masih banyak retakan yang mungkin sewaktu-waktu dapat jadi ancaman. Permintaan dari penduduk di sini kebanyakan adalah obat-obat anti gatal. Masih berputar sekitar Blali, kami mampir di pos pengungsian 1 dari pedukuhan ini. Memberi obat untuk gatal dan vitamin c untuk membuat stamina mereka fit. Di jam ini kami melihat mereka sedang mewujudkan tenda bantuan secara gotong-royong. Kemudian melihat beberapa titik- titik pengungsian. Sesekali kami bertemu dengan teman- teman kecil kita di sini. Kontainer Antok yang berisi snack untuk mereka mulai mengalir satu per satu.

09.20
Melalui jalan tembus dan memilih gang dengan animal instinct, kami meneruskan ke Ngepung. Di area pedukuhan ini kami melihat beberapa titik pengungsian sudah memakai tenda bantuan kita. Tidak ada keluhan sakit, mereka gembira karena kami mengunjungi lokasinya.
Sepuluh menit kemudian, masih di Ngepung... kami ketemu pos pengungsian satunya. Di sini kami langsung dikerubuti; sekali lagi keluhan yang ada adalah gatal dan masuk angin. Hanya satu kami mengobati luka akibat kejatuhan batu bata.
“Mas Dokter”, saya pribadi kaget dipanggil begitu,
“Sanes (bukan) Bu, kami bukan dokter, kami hanya pesepeda yang sedang melakukan patroli medis. Dan obat- obatan yang kami bahwa hanya untuk pertolongan pertama.” Ha..ha..ha..ha... itu tertawa versi mereka ketika mendengar jawaban kami.

10.15
Banyak pos pengungsian yang didirikan terletak di pinggir jalan, jadi sempat membuat kami berhenti bergerak. Karena tenda mereka menghalangi. Sekali lagi sepeda menolong kami. Langsung diangkat saja dan kami nggenjot lagi... menuju Poyahan.

11.00
Di situ situasinya kurang lebih sama. Nggak ada keluhan yang dapat mengeluarkan obat dari kontainer kami. Saya pikir ini hebat, dan mudah- mudahan itu dapat mereka jaga.
Kami lalu berjalan lebih atas, tetapi jalan yang ini sangat menanjak dan berundak. Kami berjalan dan menuntun sepeda ke atas. Di bagian pinggir Desa Poyahan sisi atas. Bantuan sudah sampai, kami berhenti agak lama di bagian ini. mungkin karena hari sudah siang sehingga energi kami mulai berkurang. Ngobrol dengan warga sekitar, sesekali cekikikan. Untung saja Antariksa, teman kami, punya stok snack untuk dimakan dan dapat menolong kami dari kelelahan sejenak.

12.05
Kami bergerak turun mendekati Ngreco dan Jelapan. Di area ini kami juga melihat jejak- jejak bantuan yang sudah disalurkan dan sudah mereka gunakan. Di sini suasananya agak tidak terlihat begitu kekurangan, dapat dikatakan mereka sudah cukup diback-up. Di pinggir jalan besar ada satu posko relawan dari organisasi lain yang juga menyediakan kru medis dan bantuan logistik. Kami pikir di titik ini mereka pasti sudah memenuhi kebutuhan warga Ngreco dan sekitarnya. Kalau sudah ramainya bantuan yang mengalir di area ini, mungkin bisa dipindah atau didrop ke titik lain yang lebih membutuhkan.
Sepuluh menit berikutnya, kami balik ke kampung tenda di Lapangan Blali dan makan siang. Dengan menu berkuah yang gak kalah lezatnya dengan menu sarapan sebelumnya. Kami dapat kabar, tim teman kami yang menyisir Pedukuhan Kalipakem, Karangasem, sudah turun, membungkus makan siangnya dan kembali ke area besepedanya kembali. Melihat ini membuat kami jadi panas. Kami konfirm ke koordinator pengumpulan data; area mana yang belum tercover, kami akan segera berangkat langsung tanpa berhenti ke situ. Dan kami sepakati area itu adalah Geger. Oke... kami segera berangkat. Tetapi sebelumnya stok obat batuk kami tambah terlebih dahulu.
Kami langsung jalan. Dengan satu tujuan: ke Pedukuhan Geger!

13.05
Setelah sampai di daerah Pedukuhan Pentung, kami belok ke kanan, kembali ke arah perbukitan. Melewati pedukuhan Dermojuang, kemudian terus menanjak ke Pedukuhan Geger. Selama kami lewat beberapa pedukuhan sebelum Geger tadi, semua area sudah tercover oleh bantuan karena jalannya sudah beraspal dan kami melihat beberapa organisasi relawan lain sudah beroperasi di daerah itu. “Aman..!” pikir kami ketika kami tanya bagaimana keadaan kesehatan mereka dan suasana titik-titik pos pengungsian yang mereka bangun. Mereka sudah satu-dua kali dibantu oleh organisasi relawan lain.

14.45
Kami sampai di Geger; kaget karena jalan tembus yang kami temui kami pikir akan sampai di mana, ternyata sampai di jalan besar. Meskipun itu bukan jalan yang diaspal, tetapi dari dilihat jejak roda mobil, bantuan pasti sudah masuk ke area ini.

15.15
Memang benar... Mereka baru saja di-sweeping oleh tim relawan dari Perguruan Tinggi Trisakti. Masuk akal karena obat yang kami bawa sudah gak laku. Ya memang benar, ibarat pedagang, barang dagangan kami sudah gak laku. Oke, berarti wilayah pedukuhan yang dari peta merupakan titik terjauh dari lapangan Blali sudah kami lihat.
Kalau mungkin dikira nggak terjangkau, nyatanya mereka sudah terjangkau.

Sampai ke Jorong, waktu sudah mulai sore. Matahari sudah mulai menjauh menuju ke peraduannya. Kami memutuskan balik ke jalan yang tadi kami lalui untuk naik. Kami takut kemalaman. Dan stok lampu yang kami bawa cuma dua, kami gak berani karena ketika turun keliatan kalau pinggir bukit itu curam sekali. Gak percaya? Lihat aja sendiri.
Metode wawancara kami yang lebih menghargai mereka yang sedang mengalami musibah ini memberi kesimpulan bahwa sebenarnya mereka banyak mengalami luka yang bersifat psikologis. Yang untuk tahu ke titik ini butuh interaksi dengan mereka dan intens. Tentunya kita akan dapat menggali informasi yang lebih dalam...

Ups! Bagaimana menulis laporannya? Dari tadi ketika kami bertemu dengan warga setempat kami hanya ngobrol saja. Nggak terasa kalau lupa mencatat. Mungkin ini sekedar usulan: bisa nggak ya kita punya cek list tentang target data yang ingin dicari? Biar kami yang di lapangan dapat langsung mencentangnya tanpa harus menulis.
Bisa jadi tulisan kita tidak terbaca dan bisa jadi juga semua volunteer yang terjun di pengumpulan data akan mendapat data yang berbeda-beda. Bagaimana kalau diseragamkan? []

Tiga Titik Belum Terjangkau

gaiacorps'today, 1/6: 18.00

Hari ini, ditemukan lagi tiga titik yang belum terjangkau bantuan di Desa Seloharjo, Pundong, Bantul.

Tiga titik tersebut adalah Kaliwelang, Geger, dan Ngentak 3. Data diperoleh gaiacorps melalui assesment ke daerah dalam dan laporan dari warga di sekitar titik tersebut, yang disampaikan pada saat rembug warga, petang hari ini (1/6). Berdasarkan data tersebut, warga menyepakati pembagian logistik untuk sementara diprioritaskan untuk daerah-daerah Kaliwelang, Geger, dan Ngentak 3.

Sampai saat ini, jangkauan kerja gaiacorps meliputi 22 titik yang tersebar di daerah-daerah Blali, Biro, Ngentak, Poyahan, Jelapan, Kalipakem, dan Parangtritis. Untuk menjangkau titik-titik di seputaran desa Seloharjo, gaiacorps menurunkan dua unit mobil klinik dan membangun satu settlement, Kampung Tenda, di Lapangan Blali, Seloharjo, Pundong, Bantul. Hari ini, sebagian besar relawan diturunkan ke daerah tersebut untuk memonitor keadaan dan melakukan pendampingan dengan penduduk yang masih tinggal di wilayah mereka. Sementara sebagian yang lain tinggal di Kampung Tenda untuk membentuk pemerintahan, membangun gudang logistik dan sekretariat, menata dan membersihkan Kampung Tenda, serta melakukan pendampingan terhadap anak-anak.

Dari penyisiran ke daerah warga yang belum terjangkau, diketahui sebagian besar penduduk masih menggunakan seng bekas, bahkan kandang, untuk berlindung. Sementara logistik yang tersedia di Kampung Tenda belum dapat segera didistribusikan karena jumlahnya masih belum mencukupi. Sejauh ini, sebagian besar bantuan logistik yang diterima gaiacorps berupa beras dan obat-obatan. Kebutuhan untuk settlement semacam hygiene kit, tenda, selimut, lampu, kebutuhan akan sumber listrik buatan, dan suplai logistik untuk bayi dan anak-anak masih jauh dari cukup.

Untuk mencukupi kebutuhan korban bencana gempa di Desa Seloharjo, gaiacorps mengupayakan bantuan dalam bentuk apa pun, termasuk mengorganisir relawan. Hingga saat ini, bantuan berupa logistik maupun obat-obatan masih terus mengalir. Jumlah relawan yang terdata sementara sampai saat ini mencapai 125 orang, termasuk sekira 30 relawan yang bersedia mendedikasikan diri sepenuhnya. Sebanyak kurang lebih 50 orang turun ke lapangan setiap harinya, termasuk tim paramedis. Meski demikian, dari total jumlah relawan yang terkumpul, masih terjadi kasus-kasus tak terduga semacam lonjakan dan turunan tajam pada grafik jumlah paramedis dan relawan yang membantu di lapangan setiap harinya. Hal ini telah diantisipasi dengan sistem penjadwalan. Sejumlah relawan tersebut dialokasikan ke lima divisi: mobile clinic & evacuation, dapur umum, klinik menetap di Kampung Tenda, divisi penyimpanan yang bertanggung jawab atas gudang logistik, dan divisi perlengkapan yang bertanggung jawab terhadap problem kelistrikan dan settlement.

Kesulitan terkait dengan relawan adalah minimnya tenaga medis yang dapat berjaga pada malam hari di klinik menetap, dan kekhawatiran akan defisiensi jumlah relawan mulai tanggal 5 Juni mendatang, dikarenakan ujian universitas menyerap sebagian besar relawan yang notabene adalah mahasiswa. Hingga berita ini diturunkan, gaiacorps masih membutuhkan tenaga relawan yang bersedia long stay di Kampung Tenda.

Lalu lintas pembagian logistik kepada warga Seloharjo dilakukan setelah terlebih dahulu melakukan rembug warga. Melalui rembug warga yang dilakukan setiap hari, mekanisme pembagian logistik yang diterapkan di Kampung Tenda gaiacorps melibatkan partisipasi aktif masing-masing titik. Dengan demikian, setiap titik akan mendapatkan suplai sesuai kebutuhan. Mekanisme ini diterapkan untuk menghindari adanya over-sufisiensi bantuan, sementara pada titik lain terjadi kekurangan. Dengan adanya sistem rembug warga pula masalah yang terjadi di desa Seloharjo dapat dipetakan dan dipecahkan bersama. Meski demikian, penumpukan logistik masih terjadi pada pos di masing-masing titik, sehingga logistik belum terdistribusikan kepada warga secara merata.

Kampung tenda Seloharjo adalah salah satu bagian dari program rekonstruksi dan development masyarakat korban gempa. gaiacorps menargetkan keberlanjutan program hingga warga yang kini menghuni tenda nantinya dapat kembali ke rumah masing-masing. Sementara masa pemulihan, Kampung Tenda diorientasikan sebagai ibu kota kecamatan, dengan cluster camps yang dalam waktu dekat akan dibangun di sekitarnya. [m]